Ziarah Pemikiran Karl Marx
![]() |
| Ilustrasi |
Menziarahi pemikiran itu sejatinya mirip menziarahi kubur. Kita datang bukan sekadar menabur air mawar, membaca doa, atau mencabut rumput liar. Kita datang untuk mengingat mati—menghadapi sunyi yang menguji batin, menatap nama-nama yang telah lebih dulu selesai dengan dunia. Di situ, kesadaran pelan-pelan merekah.
Begitu pula ketika kita menziarahi sebuah pemikiran, sebuah isme, sebuah gagasan yang pernah mengguncang tatanan. Kita mendekat dengan hormat, tapi juga waspada; antara ingin belajar dan ingin memahami dari mana luka-luka sejarah berasal.
Salah satu makam pemikiran yang layak kita ziarahi kembali adalah pemikiran Karl Marx. Musuh bebuyutan Orde Baru. Sosok yang namanya saja dulu cukup untuk membuat negara gelisah. Buku-buku Marxisme lenyap dari rak dan lemari, seperti doa yang dilarang dibaca. Semua bermula dari trauma PKI—trauma yang kemudian dibesarkan, dipelihara, lalu digunakan untuk menakut-nakuti rakyat.
Padahal Marxisme adalah dogma dari Marx, sementara komunisme bukan sepenuhnya darah dagingnya. Tetapi sejarah tak pernah sempat membedakan. Bagi rezim, semuanya dilebur, distigma, lalu dilarang. Karena Marxisme punya satu daya yang tak disukai penguasa: ia menggerakkan manusia. Ia menyadarkan orang kecil bahwa ketidakadilan bukan takdir, bahwa kemiskinan bukan kodrat, bahwa eksploitasi bukan kewajaran.
Marxisme membaca dunia seperti tubuh yang demam: ketimpangan adalah gejala, eksploitasi adalah penyakit, kapitalisme adalah virus yang terus membelah diri. Komunisme kemudian mencoba menjadi obat. Beberapa negara meminumnya seperti ramuan ajaib. Namun obat tanpa dosis menjadi racun. Dan sejarah mencatat kelumpuhan ideologi itu.
Tetap saja, Marxisme punya rasa. Ia enak dikunyah meski pahit ditelan. Dan jika kita mencari letak kegagalannya, bukan pada ide dasarnya, melainkan pada pemimpin yang mengklaimnya. Kekuasaan absolut merusak segalanya: ketika negara berubah menjadi pabrik kepatuhan, dan manusia dijadikan mur dan baut dalam mesin yang dingin. Ketika borjuis kapitalis hanya diganti dengan borjuis politik.
Negara pun kembali terjepit antara dua kutub: rakyat miskin dan pengusaha kaya. Di tengahnya, perselingkuhan abadi antara elit ekonomi dan elit politik. Demokrasi hanya dekorasi, kebebasan berpendapat hanya pernak-pernik. Yang penting angka statistik bagus. Yang penting ekonomi stabil. Meski rakyatnya tercekat, negara tetap berkata semuanya berjalan baik.
Demikian pula dalam hidup sehari-hari. Selama seseorang punya uang, rumah besar, mobil panjang, atau istri lima—ia dihormati. Tanpa itu, semua pendapatnya dianggap angin gaduh pagi hari. Dunia yang dibangun kapitalisme memang begitu: harga diri ditentukan dompet.
Karena itu Marxisme tak pernah subur di negara berperut kenyang. Ia tumbuh di tanah yang retak oleh krisis, di mana orang-orang mulai sadar ada yang patah dalam sistem. Indonesia mulai menuju ke arah itu. Kesenjangan mencolok, korupsi mengakar, dan rasa percaya publik mengecil. Maka wajar bila nama Marx kembali disebut, seperti tabib tua yang dipanggil ketika semua obat modern gagal bekerja.
Namun Indonesia adalah negeri yang sangat fanatik dalam urusan simbol agama. Marxisme dianggap bibit komunisme, dan komunisme dianggap musuh teologi. Keyakinan dijadikan pagar ideologis. Orde Baru memainkan kartu ini selama 30 tahun—dan berhasil. Bayangannya masih bertahan di kepala banyak orang hingga kini.
Dalam ziarah pemikiran kali ini, saya melihat titik lemah Marxisme, tetapi juga titik yang selaras dengan ajaran Islam. Pembelaan Marx terhadap pekerja, misalnya, benar-benar sejalan dengan sabda Nabi tentang keharusan membayar upah sebelum kering keringat pekerja. Begitu pula gagasan tentang kesenjangan sosial—seandainya Marx memahami konsep zakat, mungkin ia akan melihat bahwa Islam telah membangun sistem distribusi kekayaan yang tidak sekadar moralitas, tetapi mekanisme struktural.
Pada akhirnya, ziarah pemikiran Marx bukan untuk mengagungkan atau membakar. Bukan untuk menelan, juga bukan untuk menolak mentah-mentah. Ziarah itu untuk menatap ke dalam diri: menimbang mana yang waras, mana yang bocor; mana yang patut dirawat, mana yang harus kita kuburkan kembali.
Sebab pada hakikatnya, setiap pemikiran adalah makam. Dan setiap makam menyimpan pesan:bahwa kekuasaan tidak abadi, ketidakadilan selalu punya batas, dan manusia—betapapun ditekan—selalu punya kemungkinan untuk bangkit.
Semoga ziarah pemikiran kali ini punya makna. Setidaknya, kritik pemikiran tanpa harus mencaci, karena pemikiran kebanyakan kita bahkan tak pernah dibahas di meja kopi dan kampus-kampus. Jadi, sebelum itu terjadi, tetaplah rendah hati. Kebanyakan kita masih menjiplak, masih memakai sudut pandang turunan, kebiasaan, dan kebanyakan. Sesuatu yang bakal lenyap bahkan sebelum kematian tiba.

Komentar
Posting Komentar