Kopi Ternikmat Adalah...

Ilustrasi dari AI

Sajanbestie - Ada yang bertanya, “Bang, kopi apa yang paling nikmat?”

Pertanyaan sederhana ini dapat dijawab oleh semua orang yang pernah mengonsumsi kopi. Karena pertanyaan itu mengandung nilai rasa, maka jawaban setiap orang pasti berbeda. Namun frasa “nikmat” di dalamnya tidak hanya berbicara soal lidah; ia menyimpan dimensi emosional, spiritual, bahkan religius. Setiap orang memiliki sejarah rasa, dan setiap rasa membawa jejak pengalaman hidup.

Dengan terus memandang asap rokok yang naik perlahan, melirik kanan–kiri, serta mencium aroma damai di sekitar, jawaban tak kunjung muncul. Padahal bisa saja saya menjemput jawaban cepat, atau sekadar meminta bantuan AI untuk menyiapkannya. Namun rasa-rasanya jawaban seperti itu tidak akan jujur. Karena pertanyaan tadi bukan sekadar pertanyaan teknis tentang kopi, tetapi pertanyaan reflektif—yang hanya bisa dijawab dengan membuka folder-folder pengalaman yang tersimpan di pusat data kepala dan hati.

Maka saya duduk sejenak, memanggil logika menyapa nalar, lalu mengajak pancaindra ikut berdiskusi. Butuh waktu cukup lama sampai semuanya sepakat: kopi ternikmat adalah kopi yang diminum setelah membantu dan membahagiakan orang lain. Ada rasa lapang yang muncul setelah kebaikan dilakukan, dan kelapangan itulah yang membuat rasa kopi—apa pun jenisnya—menjadi jauh lebih nikmat. Bahkan bila disajikan di warung kopi kecil tanpa nama, tanpa barista profesional, tanpa latte art.

Ada momen-momen lain tentu saja. Seperti ketika seseorang berhasil mencapai sesuatu yang ia perjuangkan, atau ketika mendapatkan kabar baik yang lama ditunggu. Pada suasana seperti itu, kopi seolah ikut merayakan kemenangan dan menghadirkan rasa syukur yang pekat. Atau ketika ngopi bersama orang yang dicintai, di mana percakapan lebih hangat daripada minumannya, sehingga kopi menjadi bagian dari kebersamaan yang sulit diganti dengan apa pun.

Namun dari berbagai kemungkinan itu, menurut saya, kopi paling nikmat tetaplah kopi yang diminum setelah membantu orang lain—entah itu orang tua, pasangan, anak, saudara, teman dekat, atau seseorang yang sama sekali belum pernah kita kenal. Dan “orang lain” itu juga termasuk diri sendiri. Maka bila suatu hari Anda merasa kopi kurang pas, tidak seenak biasanya, mungkin bukan karena bijinya, bukan karena roasting-nya, bukan karena suhu airnya. Coba evaluasi: sudahkah hari itu Anda berbuat baik kepada siapa pun?

Kita sering terburu-buru menyalahkan faktor luar—biji kopi racikan, biji kopi natural, barista yang kurang mahir, atau suasana kedai yang tidak mendukung. Padahal bisa jadi persoalannya justru ada di dalam diri: hati yang kurang bersih, pikiran yang keruh, atau jiwa yang sedang sempit. Karena itu, lakukan kebaikan terlebih dahulu—lalu lanjutkan dengan secangkir kopi. Rasakan bagaimana kopi berubah rasa ketika hati lebih jernih.

Simpulan ini tentu bukan sebuah tesis. Namun Anda berhak mengujinya dalam hidup sehari-hari. Karena manusia pada dasarnya berada dalam kerugian ketika hidup tanpa amal baik, tanpa mengajak kepada kebaikan, tanpa saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Sebagaimana firman Allah:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-‘Asr: 1–3).

Kerugian itu sering tidak kita sadari, sebab ia tidak tampak secara kasat mata dan tidak berkaitan dengan validasi manusia. Soal validasi sendiri sebenarnya bukan hal yang selalu negatif. Dalam konteks ilmiah, validasi digunakan untuk memastikan bahwa sesuatu benar, tepat, sesuai standar, atau dapat diterima berdasarkan kriteria tertentu—misalnya validasi data, sistem, penelitian, atau administrasi.

Tetapi di zaman media sosial, banyak manusia mencari validasi dengan cara yang tidak ilmiah dan tidak sehat. Orang ingin dianggap pintar, alim, kaya, cantik, tampan, atau hebat. Validasi eksternal dijadikan tujuan utama, padahal ia tidak pernah dirancang untuk itu. Validasi seharusnya membantu kita menemukan kebenaran, bukan membangun citra palsu tentang diri sendiri. Ketika validasi dijadikan tujuan, maka niat kebaikan rusak.

Rasulullah SAW telah mengingatkan, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya…” (HR. Bukhari-Muslim).

Dan beliau bersabda tentang riya, “Yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil… yaitu riya.” (HR. Ahmad).

Ketika seseorang menjadikan validasi publik sebagai tujuan, ia cenderung menjual kebaikan dengan kata-kata: mengaku amalnya banyak, merasa paling pintar, paling suci, paling layak surga, paling keramat, paling kaya, dan segala “paling” lainnya. Padahal bila kita adalah objek yang dinilai, kita tidak perlu merangkap sebagai subjek yang memvalidasi diri sendiri.

Untuk menghindari kerugian seperti itu, berbuat baiklah tanpa menunggu validasi manusia. Niat yang bersih akan menjaga pikiran tetap jernih dan hati tetap lapang. Tidak perlu balasan manusia. Cukup akhiri kebaikan itu dengan secangkir kopi. Karena kopi setelah kebaikan terasa berbeda—lebih dalam, lebih tulus, dan lebih memenuhi jiwa.

Dan jangan lupa, membantu orang lain juga termasuk membantu diri sendiri. Membersihkan hati, meluruskan niat, dan memperbaiki pikiran adalah bentuk kebaikan yang sering kita abaikan.

Sebagaimana saya tuliskan sebelumnya, hanya dengan kreativitas dan kejernihan pikiran, sampah pun dapat berubah menjadi sesuatu yang berguna dan bernilai. Selamat ngopi, dan semoga setiap cangkirnya membawa kebaikan yang lebih dari sekadar rasa.

0 Komentar

https://www.sajanbestie.com/p/tentang.html