![]() |
| Ilustrai oleh AI |
Saat bicara sains, kebanyakan kita akan terbayang banyaknya rumus-rumus yang bikin kepala pening atau bahkan muntah. Padahal stigma itu tidak benar. Sains, pada fondasinya, bukanlah tumpukan angka, simbol, atau persamaan rumit. Sains lahir dari sesuatu yang sangat manusiawi: rasa kepo—keinginan alami untuk mengetahui “mengapa” dan “bagaimana” sesuatu terjadi.
Sejak manusia pertama kali menatap langit malam dan bertanya-tanya apa sebenarnya bintang itu, sains sudah mulai berjalan. Ia tidak dimulai dari laboratorium canggih atau teleskop mahal; sains dimulai dari rasa penasaran kecil yang memaksa kita untuk mencari jawaban. Namun, hal menarik dari sains adalah bahwa menemukan jawaban bukanlah akhir dari perjalanan. Justru setelah sebuah jawaban ditemukan, para ilmuwan akan mulai meragukannya. Jawaban apa pun harus diuji kembali, berulang kali, tanpa henti. Jika hasilnya konsisten, maka jawaban itu diterima—sementara. Ya, sementara. Karena dalam sains, tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak dan abadi.
Kita sering mengira sains adalah kumpulan fakta. Padahal sains lebih mirip metode untuk mengurangi ketidaktahuan. Caranya sederhana: mengajukan pertanyaan, membuat dugaan, menguji dugaan dengan eksperimen, mengevaluasi hasil, lalu mengulang prosesnya. Setiap kali proses itu dilakukan, sedikit demi sedikit ketidaktahuan kita berkurang. Ironisnya, semakin banyak yang kita ketahui, semakin jelas betapa banyak yang belum dipahami. Para ilmuwan besar dari masa ke masa—baik Isaac Newton hingga Albert Einstein—menyadari bahwa pengetahuan manusia hanyalah setetes air dibandingkan lautan misteri alam semesta. Karena itu, sains tidak pernah selesai. Selalu ada yang perlu dipelajari, dipahami, dan diuji kembali.
Salah satu hal paling menarik tentang sains adalah sifatnya yang dinamis. Kebenaran dalam sains tidak kaku, tidak beku, tapi selalu terbuka untuk diperbarui. Jika muncul bukti baru yang lebih kuat, teori lama bisa direvisi atau bahkan diganti. Ketika manusia dulu mengira Bumi adalah pusat alam semesta, sains mengoreksinya. Ketika orang percaya penyakit disebabkan roh jahat, sains mengungkapkan keberadaan bakteri dan virus. Ketika atom dianggap partikel terkecil, sains menunjukkan bahwa di dalamnya ada struktur yang lebih kompleks. Semua perubahan ini bukan bukti bahwa sains lemah—melainkan bukti bahwa sains berani mengoreksi dirinya sendiri.
Sains juga mengajarkan kita kerendahan hati. Di tengah zaman ketika informasi berlimpah dan banyak orang merasa paling benar, sains justru mendidik kita untuk berkata, “Mungkin aku salah. Mari kita cek lagi.” Cara berpikir ilmiah tidak menerima asumsi begitu saja. Ia mendorong kita untuk menelusuri bukti, mempertimbangkan alternatif, dan tidak cepat puas dengan jawaban pertama. Ini adalah sikap yang sangat berharga, bukan hanya dalam sains, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Kita sering lupa bahwa sains bukan hanya milik para ilmuwan profesional. Setiap kali kita memasak, mengamati cuaca, mencoba memperbaiki sesuatu, atau bertanya mengapa sesuatu bisa terjadi, kita sedang melakukan proses ilmiah dalam bentuk sederhana. Anak kecil yang bertanya mengapa langit biru sebenarnya sedang memulai langkah pertama sebagai seorang ilmuwan. Remaja yang penasaran mengapa baterai cepat habis sedang berpikir secara ilmiah. Sains bukan gelar; sains adalah cara berpikir.
Teknologi yang kita nikmati hari ini—smartphone, internet, pesawat, robot, obat-obatan—semuanya lahir dari proses ilmiah. Tanpa rasa kepo manusia terhadap dunia, kita mungkin masih hidup tanpa listrik atau pemahaman tentang tubuh kita sendiri. Namun perjalanan sains belum berakhir. Justru kini, di era modern, sains semakin membuka gerbang menuju masa depan: kecerdasan buatan yang makin canggih, perjalanan ke luar angkasa, upaya menemukan energi bersih, hingga pencarian jawaban tentang asal-usul kehidupan.
Pada akhirnya, sains adalah rasa ingin tahu yang diubah menjadi metode pencarian kebenaran. Ia bukan hafalan, bukan kumpulan rumus, dan bukan sesuatu yang menakutkan. Sains adalah perjalanan tanpa akhir, tempat kebenaran selalu diuji, diulang, dan diperbaiki. Ia tumbuh bersama manusia, dan manusia tumbuh karenanya. Jika kita berani bertanya, maka kita sudah menjadi bagian dari perjalanan sains itu sendiri.

0 Komentar