Nalar Kuasa


Seorang anak kecil menangis tersedu-sedu. Keinginannya memiliki jajanan belum terpenuhi. Ia akan terus melakukan itu hingga keinginannya dipenuhi. Apabila berhasil, ia akan mengulangi taktik itu untuk keinginan berikutnya. Bila gagal, ia akan mengubah strategi. Demikianlah bentuk awal dari will to power yang sudah muncul sejak kecil: dorongan untuk menegaskan diri, mencari cara mendapatkan apa yang diinginkan, dan menguji batas diri di hadapan dunia.

Banyak manusia membawa dorongan itu hingga dewasa. Kita ingin memengaruhi keadaan, mengatur situasi, bahkan kadang mengatur orang lain—meski sering kali kemampuan mengatur diri sendiri justru masih rapuh. Seorang suami yang memukul istrinya, atau seorang atasan yang memarahi bawahan hingga memotong gajinya, adalah contoh bagaimana dorongan untuk berkuasa dapat muncul tanpa diiringi kedewasaan dalam kendali diri.

Nama-nama besar pun tidak lepas dari jebakan ini. Hitler, Mao Zedong, Mussolini, Soeharto—mereka memegang kekuasaan atas jutaan manusia, namun pada akhirnya tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Mereka menjadi tawanan dari rasa takut, ketamakan, dan kecanduan akan dominasi. Kekuasaan yang mereka genggam justru memperlihatkan betapa lemahnya kendali mereka terhadap dorongan-dorongan batiniah. 

Mereka sering disalahpahami sebagai contoh will to power, padahal yang mereka tampilkan justru penerapan yang keliru—hasil dari tafsir dangkal dan manipulatif yang dipopulerkan oleh Elizabeth Förster-Nietzsche, adik Nietzsche, demi agenda politik nasionalisme dan otoritarianisme.

Jika merujuk pada Nietzsche sendiri, will to power bukanlah dominasi atas orang lain; bukan kekejaman, bukan pemaksaan, bukan teriakan amarah, bukan tangan besi yang menindas. Will to power adalah kemampuan melampaui diri sendiri, mengubah batas menjadi kemungkinan baru, menjadikan kekurangan sebagai energi kreatif, dan mencipta nilai baru ketika nilai lama sudah membusuk. 

Dalam aspek tertentu, ini memiliki kemiripan dengan konsep penguasaan diri dalam spiritualitas Islam—bukan tentang menaklukkan orang lain, melainkan menaklukkan diri sendiri. Al-Qur’an memberi isyarat kuat mengenai penguasaan diri ini:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11).

Perubahan sejati dimulai dari dalam, bukan dari dominasi terhadap luar.

Itulah bentuk kepemimpinan yang lebih sejati. Kepemimpinan bukan semata soal memerintah orang lain, tetapi menjadi pribadi yang sedemikian kuat dalam pengendalian diri sehingga orang lain mengikuti dengan sendirinya. Nabi Muhammad adalah contoh paling terang: bukan karena paksaan, tetapi karena keteguhan dan integritas diri. Gandhi dan Mandela pun memimpin dengan cara ini: tanpa kekerasan, tanpa dominasi, tetapi dengan kekuatan batin yang menciptakan nilai moral baru—sejalan dengan semangat Nietzsche tentang penciptaan nilai, meskipun berdiri di landasan etika yang berbeda.

Sebaliknya, para diktator tadi memulai dengan ilusi kekuatan namun berakhir sebagai bukti bagaimana seseorang dapat dikalahkan oleh dirinya sendiri. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada pemimpin negara. Dalam berbagai ruang sosial—termasuk kalangan ulama, ilmuwan, akademisi, dan guru besar—dorongan berkuasa kadang muncul dalam bentuk halus: memaksakan pendapat, mempertahankan status, atau menghalalkan cara demi pengaruh.

Bagaimana dengan kita? Banyak dari kita mengenali dorongan itu dalam diri masing-masing. Keinginan untuk diakui, didengar, menang dalam perdebatan, atau menguasai situasi bisa tumbuh tanpa terasa. Dalam proses itu, tidak jarang keinginan tersebut justru mengekang diri kita sendiri. Kita mengira sedang kuat, padahal sedang lemah. Kita mengira sedang menguasai, padahal sedang dikuasai keinginan sendiri.

Dan di situlah letak tragedi manusia: kita sibuk mengatur dunia sekitar, sementara diri sendiri jarang benar-benar kita pimpin.

Itu sebabnya Nietzsche mengingatkan: will to power bukan tentang menguasai dunia, tetapi tentang layak tidaknya kita menjadi penguasa bagi diri sendiri. Penguasaan ini membutuhkan latihan tanpa henti. Islam memerintahkan puasa—menahan diri dalam urusan biologis, sosial, dan psikologis; serta mengajarkan zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah agar manusia tidak dijajah oleh harta. Untuk lisan, Nabi bersabda:

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ini bukan sekadar anjuran moral, melainkan latihan pengendalian diri tingkat tinggi.

Di era media sosial, latihan itu justru makin dibutuhkan. Tidak sembarang membagikan informasi, tidak sembarang percaya, dan tidak mudah terprovokasi oleh konten negatif. Di sinilah will to power mengalami ujian baru: apakah kita yang menguasai informasi, atau informasi yang menguasai kita.

Bila kita yang menguasai informasi, maka selalu ada verifikasi. Berpikir ala saintis: menguji setiap informasi meski informasi itu tampak ilmiah. Proses ini tidak merugikan, justru melindungi. Bahkan air yang kita minum harus melewati beberapa proses sebelum aman dikonsumsi. Kopi sebelum sampai ke meja harus diproses tahap demi tahap.

Kini informasi hadir lebih cepat dari hembusan napas kita. Maka kemampuan berpikir dan memverifikasi harus lebih kuat dari sebelumnya. Dengan demikian, kita mampu menguasai informasi, bukan dikuasai informasi sampai menyebarkan kekeliruan. Berlatihlah menguasai diri sehingga menguasai segala yang di luar diri. Ciptakan nilai baru sehingga hidup lebih bernilai. Karena yang bernilai selalu dicari, di mana pun itu. Selamat ngopi.

0 Komentar