Kopi Pagi


Bagaimana kopimu hari ini?
Kopi pagi selalu memberi rasa syukur. Hari itu bermakna masih ada pintu tobat. Masih ada kesempatan memperbaiki hati dan pikiran. Masih ada kesempatan merencanakan. Cerita itu terus berulang, namun seolah hanya angin lalu. Dekonstruksi rutinitas bukanlah perkara mudah, apalagi seiring bertambahnya godaan, sementara pengetahuan dan iman begitu-begitu saja.

Pada titik ini, mungkin benar apa kata Albert Camus: manusia hidup dalam ketegangan antara kebiasaan yang meninabobokan dan kesadaran yang menyakitkan. Kopi pagi menjadi perantara kecil antara dua dunia: dunia yang ingin tetap nyaman, dan dunia yang menuntut perubahan.

Maka wajar penyakit hati dan pikiran semakin kuat, sementara imun semakin melemah—pikiran yang mudah dipengaruhi dan hati yang mudah kotor. Sementara itu, kopi selalu menatap penuh harap—perubahan pikiran dan hati, minimal menyeimbangkan dengan “virus” yang kian berkembang.

Seolah menyeru seperti Nietzsche: “Setiap hari kau harus menyalakan kembali api dalam dirimu. Jika tidak, kau akan hidup dari abu orang lain.”

Elit akademis dan elit agama kian hari semakin melemah perannya. Bukan karena perkembangan zaman, namun karena mereka yang enggan berkembang, konon lagi maju. Ucapan-ucapan mereka kian jauh dari tindakan nyata. Tidak semua orang mampu menoleransi itu; mereka semakin jauh dari cahaya, malah terjun bebas ke dunia transaksi.

Beginilah yang diingatkan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah: ketika elit kehilangan kejujuran intelektual, masyarakat menghadapi kemunduran bukan karena kurang ilmu, tetapi karena hilangnya etika.

Kopi pagi menyadari itu. Di media sosial dan media online kita kemudian sering menemukan kalimat, “Ini zaman ketidakpastian, zaman tipu-tipu.” Kalimat itu secara realistis banyak benarnya, namun mengatai diri sendiri bukanlah solusi. Mengapa mengatai diri sendiri? Jelas saja kita hidup di zaman yang dihardik itu. Pertanyaannya, “Apakah zaman-zaman sebelumnya ada kepastian?”

Secara historis dan sosiologis, semua zaman pada dasarnya sama. Penipu banyak, namun orang-orang jujur juga tak sedikit. Pemimpin amanah selalu ada; pemimpin kurang amanah juga ada. Barangkali sejarah kejayaan masa lalu hanya nostalgia. Kita enggan mengambil roh sejarah. Hanya membaca dan mendengar kisah kejayaan tanpa mau merasakan pahitnya kopi pagi.

Seperti dikatakan Walter Benjamin, sejarah sering dipotret dari sudut pemenang, sementara penderitaan mereka yang tersingkir terhapus oleh narasi besar yang dibangun penguasa.

Kita hanya melihat tokoh utama di masa jaya. Kita lupa bagaimana masyarakat saat itu, bagaimana pahit yang pernah mereka rasa sebelum hadirnya kejayaan. Kita lupa berapa liter darah, berapa puluh bahkan ribuan nyawa melayang. Kita lupa berapa gelas kopi hitam yang mereka habiskan agar sampai pada titik itu. Semangat itulah yang jarang kita obrolkan.

Dan meski sampai titik kejayaan, apakah tidak ada penindasan? Apakah semua yang berkontribusi mendapat apresiasi, minimal tertulis dalam catatan sejarah? Belum tentu. Lihat saja segelas kopi yang begitu nikmat—sebelum sampai ke meja ia mengalami beberapa proses. Dan begitu banyak yang berkontribusi: mulai dari petani, tanah, air, udara, matahari, dan lain-lain.

Inilah yang dalam antropologi disebut “invisible labor” — kerja tak-terlihat yang menopang segala kelezatan dan kemajuan, namun tak pernah diangkat dalam narasi besar.

Namun sebagaimana sejarah, kopi mendapat kejayaan, namun mereka yang berkontribusi sering terlupakan. Tak perlu sedu-sedan; Tan Malaka tetap hidup di mata pengagumnya. DN Aidit, yang dianggap pemberontak meski sebelumnya berjasa, juga terus diperbincangkan. Mari melihat kisah di balik kisah—menikmati kopi sambil menelaah para kontributor kenikmatan itu, termasuk yang paling utama, Allah Azza Wa Jalla.

Sambil ngopi pagi, saksikan bagaimana pembuat sejarah berakrobat. Ada lelucon di tengah krisis; ada krisis di tengah lelucon, yaitu lelucon yang tak lucu. Pejabat bodoh dijadikan pembuat kebijakan, pejabat pintar membodohi rakyatnya. Lelucon ini sudah sejak lama ada, bukan hal baru. Hanya saja kita sering pingsan ingatan.

George Orwell pernah menulis, “Dalam masa penipuan universal, mengatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner.” Tampaknya kopi pagi setuju.

Ketidaksadaran itu dimanfaatkan dengan baik oleh mereka. Seseorang dapat menjadi pahlawan meski ribuan nyawa rakyatnya pernah dibunuhnya. Ketika Hasan Tiro mendeklarasikan berdirinya gerakan perlawanan, pahlawan itu sudah memasuki periode kedua kekuasaan. Ia berhubungan intim dengan adikuasa. Militer jadi tunggangan sekaligus anjing penjaga kekuasaannya. Sejak saat itu, satu demi satu rakyat di ujung barat itu dibunuh.

Kopi pagi tersenyum sambil menyindir, “Begitulah manusia, cepat lupa sejarahnya sendiri.” Dan adagium sejarah berlaku: sejarah milik pemenang. Sang diktator yang menjadikan Aceh dan Timor-Timur kawasan perang, pemberi akses perusahaan asing mengambil SDA seenaknya, malah dianugerahi gelar pahlawan.

Di sinilah relevan ucapan Milan Kundera:

“Pertarungan manusia melawan kekuasaan adalah pertarungan ingatan melawan lupa.”

Kopi pagi tersenyum lagi sambil berkata, “Apakah aku bisa menjadi pahlawan?” Tak perlu bersedih, wahai kopi. Seorang Socrates yang tetap hidup di arena pemikiran pun harus mengakhiri hidup dengan sadis—dianggap pemberontak karena meresahkan kekuasaan. Namun di kemudian hari malah sebaliknya. Cukuplah jadi pahlawan bagi diri sendiri.

Konsep “pahlawan bagi diri sendiri” ini sejalan dengan filsafat Stoikisme: bahwa kemenangan terbesar adalah kemenangan atas diri sendiri, bukan atas orang lain.

Pahlawan Sejati

Siapa sebenarnya pahlawan sejati? Apakah ibu, ayah, teman, saudara, guru, atau siapa? Semuanya pahlawan menurut kopi. Besar-kecil kontribusi tidak mengurangi gelar itu. Bahkan diri sendiri juga pahlawan bagi diri sendiri bila membawa diri ke jalan yang benar.

Jalan kebenaran itu sepi, tidak ada kemewahan kecuali kebenaran itu sendiri. Menapaki jalan itu penuh ujian dan cobaan. Sama seperti kopi pagi yang tersaji—tidak semua biji kopi diproses menjadi segelas kopi. Beberapa dibuang. Prosesnya panjang, dan hasilnya tentu penuh kenikmatan dan, yang paling penting, penuh berkah.

Di sinilah cocok kata Rumi:

“Jalan kebenaran adalah jalan yang sunyi. Hanya mereka yang berani kehilangan dirinya akan menemukannya.”

Seperti halnya pikiran, kopi membutuhkan air jernih agar tidak mengurangi rasa. Air itu harus panas sebelum dicampur bubuk kopi. Baik biji kopi maupun air jernih harus melewati proses itu. Pikiran jernih juga harus “dipanaskan” dengan beragam persoalan dan wacana dalam bentuk diskusi dan literasi, agar dapat dikonsumsi dengan sehat dan menambah kenikmatan kopi pagi.

Begitulah kopi mengajarkan epistemologi sederhana: bahwa pengetahuan lahir dari proses pemurnian dan pemanasan, seperti kata Paulo Freire—manusia harus “ditempa” oleh dialog dan refleksi untuk menjadi sadar. Selamat ngopi!!!.


0 Komentar

https://www.sajanbestie.com/p/tentang.html